Senin, 16 Januari 2012

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

I.       DEFINISI
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.

I.       ETIOLOGI
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan.

Faktor-faktor pada individu :
1.               Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus
2.               Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3.               Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4.               Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5.               Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6.               Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever
Faktor-faktor lingkungan :
1.                 Keadaan sosial ekonomi yang  buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2.                 Iklim dan geografi
      Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3.                 Cuaca
      Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

I.       PATOGENESIS
Demam reumatik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi streptococcus golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi patologik jantung, pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala demam reumatik bermanifestasi kira-kira 1 – 5 minggu setelah terkena infeksi. Gejala awal, seperti juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal yang paling sering dijumpai (75 %) adalah arthritis. Bentuk poliarthritis yang bermigrasi. Gejala dapat digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan dapat berkembang secara bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain. Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.
ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik / penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik / penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap streptococcus.
Patologi anatomis
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferasi jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti sendi, kulit, paru, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu reversibel. Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.

I.       MANIFESTASI KLINIK
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium.
Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A.
Keluhan :
§Demam
§Batuk
§Rasa sakit waktu menelan
§Muntah
§Diare
§Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum :
1                   Demam yang tinggi
2                   lesu
3                   Anoreksia
4                   Lekas tersinggung
5                   Berat badan menurun
6                   Kelihatan pucat
7                   Epistaksis
8                   Athralgia
9                   Rasa sakit disekitar sendi
10               Sakit perut

Stadium IV
Disebut  juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

IV.                                                PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
1         Pemeriksaan laboratorium darah
2         Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
3         Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
4         Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi

V.                 DIAGNOSIS PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa demam reumatik dapat digunakan Kriteria Jones  yaitu :
Kriteria mayor :
Ä          Poliarthritis
Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar; lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan , siku (poliarthritis migrans).
Ä          Karditis
Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis).
Ä          Eritema marginatum
Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang tidak gatal.
Ä          Noduli subkutan
Terletak pada ekstensor sendi terutama siku, ruas jari, lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.
Ä          Korea sydenham
Gerakkan yang tidak disengaja /gerakkan yang abnormal, sebagai manifestasi peradangan pada sistem syaraf pusat.

Kriteria Minor :
1         Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik
2         Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
3         Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
4         Leukositosis
5         Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
6         C-Reaktif Protein (CRF) positif
7         P-R interval memanjang
8         Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
9         Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
Bukti-bukti infeksi streptococcus :
10                                       Kultur positif
11                                       Ruam skarlatina
12                                       Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat

VI.       PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan  medis adalah :
ð Memberantas infeksi streptococcus
ð Mencegah komplikasi karditis
ð Mengurangi rasa sakit; demam
Pemberantasan infeksi streptococcus :
Pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis :
1                                             Berat badan lebih dari 30 kg à 1,2 juta unit
2                                             Berat badan kurang dari 30 kg à 600.000 - 900.000 unit
3         Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin diberikan eritromisin dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian selama kurang lebih 10 hari.
Pencegahan komplikasi karditis :
4         Pemberian penisilin benzatin setiap satu kali sebulan untuk pencegahan sekunder menurut The American Asosiation
5         Tirah baring bertujuan untuk mengurangi komplikasi karditis dan mengurangi beban kerja jantung pada saat serangan akut demam reumatik
6         Bila pasien ada tanda-tanda gagal jantung maka diberikan terapi digitalis 0,04 – 0,06 mg/kg BB.
Mengurangi rasa sakit dan anti radang :
7         Pasien diberi analgetik untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Salisilat diberikan untuk anti radang dengan dosis 100 mg/kg BB/hari selama kurang lebih dan 25 mg/kg BB/hari selama satu bulan.
8         Prednison diberikan selama kurang lebih dua minggu dan tapering off (dikurangi bertahap) Dosis awal prednison 2 mg/kg BB/hari.
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria jones yang dimodifikasi dari American Heart Association. Dua kriteria mayor dan satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik. Prognosis tergantung pada beratnya keterlibatan jantung.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK


A.  PENGKAJIAN
      Tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data tentang :
Fungsi jantung
Toleransi terhadap aktivitas dan sikap klien terhadap pembatasan aktivitas
Status nutrisi
Tingkat ketidaknyamanan
Gangguan tidur
Kemampuan klien mengatasi masalah
Hal-hal yang dapat membantu klien
Pengetahuan orang tua dan pasien (sesuai usia pasien) tentang pemahaman pasien
Pengkajian
Riwayat penyakit
Monitor komplikasi jantung
Auskultasi jantung; bunyi jantung melemah dengan irama derap diastole
Tanda-tanda vital
Kaji adanya nyeri
Kaji adanya peradangan sendi
Kaji adanya lesi pada kulit

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan stenosis katub
Tujuan : COP meningkat
Kriteria :
-     Klien menunjukan penurunan dyspnea
-     Ikut berpartisipasi dalam aktivitas serta mendemonstrasikan peningkatan toleransi

Intervensi :
a.   Pantau tekanan darah, nadi apikal dan nadi perifer
b.   Pantau irama dan frekuensi jantung
c.     Tirah baring posisi semifowler 450
d.  dorong klien melakukan tehnik managemen stress ( lingkungan tenang, meditasi )
e.   bantu aktivitas klien sesuai indikasi bila klien mampu
f.    kolaborasi O2 serta terapi

2.     Intoleransi aktivitas b.d penurunan cardiac output, ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
Tujuan : Klien dapat bertoleransi secara optimal terhadap aktivitas
Kriteria :
-     Respon verbal kelelahan berkurang
-     Melakukan aktivitas sesuai batas kemampuannya ( denyut nadi aktivitas tidak boleh lebih dari 90X/menit, tidak nyeri dada )
Intervensi :
a.   Hemat energi klien selama masa akut
b.   Pertahankan tirah baring sampai hasil laborat dan status klinis membaik
c.    Sejalan dengan semakin baiknya keadaan, pantau peningkatan bertahap pada tingkat aktivitas
d.   Buat jadwal aktivitas dan istirahat
e.   Ajarkan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kebutuhan sehai-hari
f.    Ajarkan pada anak /orang tua bahwa pergerakkan yang tidak disadari adalah dihubungkan dengan korea dan temporer.
g.   Bila terjadi chorea, lindungi dari kecelakaan, bedrest dan berikan sedasi sesuai program

3.     Nyeri b.d respon inflamasi pada sendi (poliarthritis).
Tujuan : tidak terjadi rasa nyeri pada klien
Kriteria :
-    Nyeri klien berkurang
-    Klien tampak rileks
-    Ekspresi wajah tidak tegang
-    Klien dapat merasakan nyaman, tidur dengan tenang dan tidak merasa sakit
Intervensi :
a.   Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala
b.   Berikan tindakan kenyamanan ( perubahan posisi sering lingkungan tenang, pijatan pungung dan tehnik manajemen stress)
c.   Minimalkan pergerakkan untuk mengurangi rasa sakit
d.  Berikan terapi hangat dan dingin pada sendi yang sakit
e.   Lakukan distraksi misalnya : tehnik relaksasi dan hayalan
f.    Pemberian analgetik, anti peradangan dan antipiretik sesuai program.
g.   Rujuk ke terapi fisik sesuai persetujun medik

4.     Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, rasa sakit waktu menelan dan peradangan pada tonsil disertai eksudat.
Tujuan : tidak terjadi penurunan nutrisi pada klien
Kriteria :
-    Nafsu makan  klien bertambah
-    Klien tidak merasa mual, muntah
-    Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
a.   Beri makan sedikit tapi sering (termasuk cairan)
b.   Masukkan makanan kesukaan anak dalam diet
c.    Anjurkan untuk makan sendiri, bila mungkin (kelemahan otot dapat membuat keterbatasan)
d.   Memilih makanan dari daftar menu
e.   Atur makanan secara menarik diatas nampan
f.    Atur jadwal pemberian makanan
g.   Berikan makanan yang bergizi tinggi dan berkualitas.

5.     kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya filtrasi glomerulus, retensi natrium dan air, meningkatnya tekanan hidrostatik
Tujuan : volume cairan seimbang
Kriteria :
-     Volume cairan stabil, dengan keseimbangan masukan dan pengeluarn
-     Tidak terdapat odema
Intervensi :
1        Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna
2        Pantau keseimbanagn masukan dan pengeluaran selama 24 jam
3        Berikan makanan yang mudah dicerna porsi kecil, sering
4        Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi
5        Kolaborasi pemberian diuretik

6.     Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
1        Frekuensi nafas dan kedalaman dalam rentang normal
Intervensi :
2        Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada, catat pernafasan/upaya pernafasan
3        Auskultasi bunyi nafas dan catat bunyi nafas
4        Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
5        Kolaborasi terapi O2
6         
7.     Kurangnya pengetahuan orang tua / anak b.d pengobatan, pembatasan aktivitas, resiko komplikasi jantung.
Tujuan : pengetahuan orang tua /anak bertambah
Kriteria :
-    Orang tua mengetahui tentang proses penyakit dan efek dari penyakit
-    Orang tua mau berpartisipasi dalam program pengobatan
-    Orang tua mengetahui pentingnya pembatasan aktifitas pada anak
Intervensi :
a.   Auskultasi bunyi jantung untuk mengetahui adanya perubahan irama
b.   Pemberian antibiotik sesuai program
c.    Pembatasan aktivitas sampai manifestasi klinis demam reumatik tidak ada dan berikan periode istirahat
d.   Berikan terapi bermain yang sesuai dan tidak membuat lelah.

8.     Perubahan proses keluarga b.d kondisi penyakit anak.
Tujuan :
-     Mempersiapkan keluarga untuk dapat merawat anak dengan penyakit demam reumatik / jantung reumatik
-     Keluarga dapat beradaptasi dengan penyakitnya
Kriteria :
Keluarga dapat mengatasi masalah yang timbul dari adanya tanda dan gejala yang muncul dan memberikan  atau menyediakan lingkungan yang sesuai dengan anak.
Intervensi :
a.   Berikan dukungan emosional pada keluarga dan anak
b.   Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya
c.    Anjurkan anak untuk berbagi rasa tidak berdaya, malu, ketakutan yang berkaitan dengan manifestasi penyakit (misal: korea, karditis dan kelemahan otot)
d.   Bertindak sebagai pembela dan penghubung anak dan keluarga dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya
e.   Anjurkan anak untuk berhubungan dengan teman sebaya
f.    Dorong keterlibatan anak dalam aktivitas rekreasi dan aktivitas pengalih yang sesuai dengan usia.

Chronic Obstructive Pulmonal Disease (COPD)

A. Pengertian
COPD adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005), COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.


B. Klasifikasi
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Asma Bronkhial: dikarakteristikan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.
  2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
  3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus.

C. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999) adalah :
  1. Kebiasaan merokok
  2. Polusi udara
  3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
  4. Riwayat infeksi saluran nafas.
  5. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.

D. Tanda dan gejala
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
  1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
  2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
  3. Dispnea.
  4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
  5. Anoreksia.
  6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
  7. Takikardia, berkeringat.
  8. Hipoksia, sesak dalam dada.

D. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Anamnesis :
    Riwayat penyakit ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-faktor penyebab.

  2. Pemeriksaan fisik :
    • Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter anteroposterior dada meningkat).
    • Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
    • Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang.
    • Suara nafas berkurang.

  3. Pemeriksaan radiologi
    • Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
    • Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.

  4. Tes fungsi paru :
    Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
  5. Pemeriksaan gas darah.
  6. Pemeriksaan EKG
  7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.

E. Komplikasi
Infeksi yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrosit karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas, dan kor pulmonal.


F. Penatalaksanaan
  1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.

  2. Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :

    • Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
      • Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x 0,5 g/hari.

      • Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih kuat.

    • Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.

    • Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

    • Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk didalamnya golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan sulbutamol 5 mg dan atau protropium bromide 250 g diberikan tiap 6 jam dengan rebulizer atau aminofilin 0,25 – 05 g IV secara perlahan.

  3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
    • Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25 – 0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
    • Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif fungsi foal paru.
    • Fisioterapi.
    • Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
    • Mukolitik dan ekspekteron.
    • Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas Tip II dengan PaO2 <>
    • Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b) Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.

Asuhan Keperawatan pada pasien dengan COPD

A. Pengkajian
  1. Identitas klien
    Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga Negara, bahasa yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama, alamat, hubungan dengan klien.

  2. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
    Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang membuat status kesehatan klien menurun.

  3. Pola nutris metabolik.
    Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan dan minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun adanyaterapi intravena, penggunaan selang enteric, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan, lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh gambaran status nutrisi.

  4. Pola eliminasi.
    • Kaji terhadap rekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output setiap sift.
    • Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
      kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat bantu/intervensi dalam Bab.

  5. Pola aktivitas dan latihan
    Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang dan juga penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain. Tanyakan kepada klien tentang penggunaan waktu senggang. Adakah keluhanpada pernapasan, jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan lemah.

  6. Pola tidur dan istirahat
    Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur siang. Apakah klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca, minum susu, menulis, memdengarkan musik, menonton televise. Bagaimana suasana tidur klien apaka terang atau gelap. Sering bangun saat tidur dikarenakan oleh nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.

  7. Pola persepsi kogniti
    Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan, pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien mengatasi tak nyaman : nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti pengelihatan kabur, pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi terhadap tempat waktu dan orang.

  8. Pola persepsi dan konsep diri
    Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.

  9. Pola peran hubungan dengan sesama
    Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien di masyarakat dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan komunikasi verbal dan gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga dan orang lain.

  10. Pola produksi seksual
    Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.

  11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
    Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri, tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan, penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.

  12. Pola system kepercayaan
    Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan kesehatan.
Askep COPD


B. Diagnosa Keperawatan
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.

  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).

  3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.

C. Perencanaan Keperawatan.
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.

    Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan
    individu.

    Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas
    bersih/jelas.

    Intervensi
    1. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
      Rasional :
      Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi.

    2. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
      Rasional :
      Peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan menggunakan gravitasi. Namun pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.

    3. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya : mengi, krokels dan ronki.
      Rasional :
      Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tidak dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius, misalnya : penyebaran, krekels basah (bronchitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi napas (asma berat).

    4. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
      Rasional :
      Disfungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misalnya infeksi dan reaksi alergi.

    5. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
      Rasional :
      Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.

    6. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk pendek, basah, bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan jalan napas.
      Rasional :
      Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi dada.

    7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
      Rasional :
      Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan air hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

    8. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin), albuterol (proventil, ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol, bronkometer).
      Rasional :
      Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral, injeksi atau inhalasi. dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.
      (Doenges, 1999. hal 156).

  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).

    Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
    keperluan tubuh.

    Kriteria hasil :
    • Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
    • Tanda-tanda vital dalam batas normal
    • Tidak ada tanda-tanda sianosis.

    Intervensi :
    1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius, napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang.
      Respon :
      Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan kronisnya proses penyakit.

    2. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
      Rasional :
      Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir atau danun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.

    3. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
      Rasional :
      Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan laithan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.

    4. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
      Rasional :
      Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.

    5. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
      Rasional :
      Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya sekret. Krekles basah menyebar menunjukan cairan pada interstisial/dekompensasi jantung.

    6. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
      Rasional :
      Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

    7. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
      Rasional :
      Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan ; emfisema koronis, mengatur pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin dikkeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.
      (Doenges, 1999. hal 158).

  3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada selaput paru-paru.

    Tujuan : Rasa nyeri berkurang sampai hilang.

    Kriteria hasil :
    • Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
    • Ekspresi wajah rileks.

    Intervensi :
    1. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki perubahan karakter/intensitasnyeri/lokasi.
      Respon :
      Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat timbul komplikasi seperti perikarditis dan endokarditis.

    2. Pantau tanda-tanda vital.
      Rasional :
      Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda vital.

    3. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
      Rasional :
      Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.

    4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
      Rasional :
      Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan memberan mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.

    5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
      Rasional :
      Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.

    6. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
      Rasional :
      Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.
      (Doenges, 1999. hal 171).